Dalam masyarakat Batak, khususnya, Toba, tingkatan kegiatan-kegiatan adat maupun ritual budaya dapat dilihat dari binatang apa yang disembelih. Yang paling tinggi adalah kerbau, yang oleh masyarakat Batak Toba sering diistilahkan sebagai “Gajah Toba”.
Kerbau (Bubalus bubalis), jenis hewan yang termasuk famili bovidae ini sudah dikenal sejak masa prasejarah. Menarik bahwa di beberapa tempat di Indonesia, baik pada situs megalitik maupun masyarakat yang hidup dengan tradisi megalitiknya menggunakan kerbau sebagai simbol maupun dalam kehidupannya, termasuk Batak. Mengingat di Sumatera Utara ornamen kerbau atau bagian tubuhnya juga digunakan oleh masyarakat Batak pada rumah-rumah adatnya.
Kalau kita lihat ada tanduk kerbau di satu rumah orang Batak Toba, itu menunjukkan bahwa mereka pernah melakukan kegiatan adat dalam skala besar. Misalnya pesta saurmatua. Pesta saurmatua idealnya yang dipotong kerbau. Tapi sekarang tergantung kondisi ekonomi pihak yang menyelenggarakan.
Pesta saurmatua dalam masyarakat Batak Toba adalah upacara kematian bagi seseorang yang telah memiliki cucu dari semua anak dan borunya. Orang yang telah mencapai taraf itu dianggap telah “sangap” (berhasil) mendekati kesempurnaan.
Makanya, posisi tangan orang yang meninggal saurmatua itu telungkup. Itu artinya dia telah berhasil menunaikan tanggungjawabnya hidup di dunia ini. Karena bagi orang Batak Toba, adalah kebanggaan bila setidaknya ia bisa melihat dua generasi di bawahnya secara lengkap. Dalam arti keturunan dari anaknya dan keturunan dari boru (putrinya).
Pada umumnya banyaknya kerbau yang disembelih pada suatu upacara adat menggambarkan kemampuan keluarga atau tingginya status sosial seseorang di masyarakat. Bagi masyarakat yang masih hidup dengan tradisi megalitiknya seperti Toraja, Sumba, Dayak Ngaju, dan Batak, kerbau merupakan hewan yang sering dikorbankan pada upacara-upacara adatnya seperti upacara kematian (rambu solo’,marapu, tiwah, saur matua dan mangokal holi), atau pembangunan rumah adat.
Pada masyarakat Simalungun kerbau merupakan lambang kesabaran, keberanian, kebenaran, dan sebagai penangkal roh jahat. Demikian halnya dengan masyarakat Batak Karo juga mengenal ornamen sejenis berupa kepala kerbau berwarna putih yang terbuat dari ijuk dan tanduk kerbau asli. Ornamen tersebut diletakkan pada bagian ujung atapnya yang mengarah ke dua penjuru mata angin (timur-barat) jika memiliki 2 ayo-ayo (hiasan atap), atau empat penjuru mata angin(utara-timur—selatan-barat) jika memiliki 4 ayo-ayo.
Ornamen itu melambangkan keperkasaan dan penjaga keselamatan dari serangan roh-roh jahat. Demikian halnya dengan masyarakat Batak Toba pada ujung puncak atap bagian depan rumah adat (sopo) dihiasi dengan motif Ulu palung (hiasan raksasa) yang menggunakan tanduk kerbau. Hiasan tersebut merupakan lambang penjaga keselamatan dari gangguan hantu.
Khusus pada rumah raja, susunan tanduk kerbau ditempelkan pada dinding bagian dalam sopo yang menandai kekuasaan raja, sekaligus menggambarkan telah dilaksanakannya pesta besar (mangalahat horbo = memotong kerbau). Selain itu juga dikenal ornamen lain yang mirip kerbau yang disebut dengan Sijonggi (lembu jantan) yang merupakan lambang keperkasaan.
Pada masyarakat Batak di Sumatera Utara dikenal upacara kematian seperti saur matua, dan mangokal holi (menggali tulang) untuk memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur sekunder. Sebagai rangkaian kegiatan upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai dengan pemotongan kerbau.
Sebelum disembelih kerbau diikat pada tiang yang disebut borotan serta diiringi dengan tarian tor-tor. Kemudian setelah kerbau disembelih dagingnya dibagikan pada kerabat yang mengikuti upacara tersebut berupa jambar juhut. Demikian halnya pada upacara perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur), dan pendirian rumah adat, kerbau juga disembelih selain sebagai hewan korban juga sebagai pelengkap adat dalam pembagian jambar.
Pada pembagian-pembagian jambar juhut (hewan kurban) terdapat aturan tertentu yang disebut ruhut papangan, yaitu:
a. Kepala (ulu dan osang) untuk raja adat.
b. Leher (rungkung atau tanggalan) untuk pihak boru.
c. Paha dan kaki (soit) untuk pihak dongan sabutuha.
d. Punggung dan rusuk (panamboli & somba-somba) untuk pihak hula-hula.
e. Bagian belakang (ihur-ihur) untuk pihak hasuhuton.
Adanya aturan yang memberi perlakuan khusus pada raja di masyarakat Batak tersebut juga menjelaskan tentang keberadaan tanduk kerbau yang tersimpan pada rumah adatnya.
Baca berita lainnya di batakita.com
sumber : www.gobatak.com