Etnis Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Meskipun terdiri lebih dari 400 marga, namun suku Batak mempertahankan kebudayaannya dengan sangat baik. Salah satu tradisi yang masih dipegang adalah Mangalahat Horbo.
Budaya Batak yang satu ini kerap ditampilkan pada pagelaran kebudayaan dan juga event-event pariwisata. Bila anda pernah berkunjung ke Pesta Danau Toba atau Festival Danau Toba maka ritual budaya ini akan dipertontonkan kepada khalayak umum. Keunikan dan fungsinya sebagai wujud eksistensi Batak menjadi alasan mengapa ritual ini sudah sewajibnya untuk dilestarikan.
Marmula sian ho do angka situmalo
Debata sitompa langit dohot tano
Ho do mula ni duhut marlata Dohot mula ni onggang marsuara
Yang artinya “Allah Maha Besar, berasal dari padaMu segala kebijaksanaan, Allah pencipta langit dan bumi, Engkaulah permulaan kebijaksanaan, permulaan segala benih rumput dan suara dentuman”
Umpasa ini menjelaskan bahwa masyarakat Batak Toba sangat menjunjung tinggi nilai ketuhanan dan saling menghormati. Meyakini Debata Mulajadi Nabolon sebagai Debata Pargomgom (Allah yang melindungi), yang empunya kekuasaan terhadap bumi dan segala isinya. Kalimat ungkapan ini adalah doa yang dipanjatkan saat akan menyerahkan kurban syukuran kepada Debata Mulajadi Nabolon yang merupakan dewa tertinggi dalam kepercayaan Batak.
Proses Upacara Mangalahat Horbo
Dalam proses pelaksanaannya, upacara Mangalahat Horbo dibagi menjadi pembukaan acara, inti/isi acara, dan bagian penutup. Ketiga bagian ini dilakukan dengan iringan sastra lisan.
Iringan sastra lisan tersebut berupa umpasa yang mengandung nilai-nilai filosofis kehidupan masyarakat batak. Pada bagian pembukaan, iringan sastra lisan dimaknai sebagai prosesi awal persembahan kepada Mulajadi na Bolon.
Proses ini pembukaan dimulai dengan menyerahkan kurban kerbau atau horbo lae-lae. Kerbau atau horbo ini dipercaya sebagai kurban yang paling tinggi untuk dipersembahkan kepada Maha Tinggi.
Dalam Mangalahat Horbo, terdapat banyak pihak yang berperan. Terdapat Malim Parmangmang yang diwakili oleh pastor, dan Malim Parhata yang diwakili raja-raja Parbaringin.
Malim Parhata ini berperan sebagai fungsionaris religius dalam ritual pengorbanan dan merupakan tuan rumah. Biasanya raja-raja Parbaringin ini berjumlah 12 orang pria. Kemudian ada Malim Pardaupa, yang merupakan Raja Parbaringin Pandua atau kedua.
Selain itu dalam prosesinya juga ada seorang perempuan anggun berbusana putih, yang disebut si Boru Malim. Raja-raja perwakilan lain juga mengiringi prosesi ini yang kemudian akan ikut menombak kerbau pada bagian inti.
Di bagian inti/isi dari Mangalahat Horbo, dibacakan pula lanjutan sastra lisan yang memohonkan kesejahteraan kepada Ompu Tuhan Mulajadi na Bolon. Permohonan dipanjatkan dengan harapan agar dijauhkan dari kesedihan hidup.
“Jadikanlah persembahan kerbau kurban ini menjadi kesembuhan dari kesedihan kemelaratan dan kemiskinan, mengembalikan kekuatan batin dan tubuh dan harta yang melimpah untuk kesejahteraan hidup bersama.”
Kemudian pada bagian penutup, diutarakan permohonan kepada Mulajadi na Bolon agar masyarakat hidup dengan kompak dan terus menjunjung rasa persaudaraan. Pada bagian penutup, Mangalahat Horbo disertai pula dengan musik.
Musik yang mengiringi bagian penutup ini adalah Gondang Elek Debata. Alat musik tradisional ini berfungsi sebagai perantara dan penanda berakhirnya pesta Lahatan Mangalahat Horbo.
Segala hal yang dibutuhkan dalam proses ritual persembahan kerbau terlebih dahulu sudah melewati penyucian, yaitu dipercik dengan air jeruk purut oleh pemimpin ritual. Tujuan penyucian ini, agar kerbaunya menurut dan pasrah saat akan disembelih.
Tali untuk mengikat kerbau terbuat dari tali ijuk dan suhil dari rotan. Dan tempat untuk menambatkan kerbau disebut borotan. Borotan adalah jenis kayu yang berasal dari Pohon Beringin, dilambangkan sebagai hariara sundung dilangit, bagian pohon yang diambil adalah batangnya.
Lalu batang pohon ini ditancapkan pada lubang, yang telah disiapkan di tengah lapangan dimana upacara akan diadakan. Bagian atas borotan akan dipasangi pacak yang juga memiliki makna filosofis.
Pacak-pacak tersebut dilengkapi dengan jenis daun-daunan yang dipercayai, sebagai bagian dari ritual habatahon yaitu baringin, jabijabi, motung, silinjuang, sisangkil, sipilit, rudang, meang, bagure dan lain sebagainya.
Darah dari kerbau inilah yang dipersembahkan kepada Debata Mulajadi Nabolon, lalu darat tersebut didoakan dan ditutup kembali dengan tanah. Sementara daging kerbau akan disembelih dan dibagi-bagikan kepada masyarakat tanpa kecuali sebagai simbol berkat itu rata diterima siapa saja yang hadir dalam upacara tersebut.
Mangalahat Horbo selain dimaknai sebagai upacara turun ke sawah dan ungkapan rasa syukur, ternyata memiliki makna lain loh. Masyarakat setempat percaya Mangalahat Horbo dilakukan untuk meminta keturunan dan sebagai upacara peringatan orang meninggal.
Inilah keunikan Tradisi Batak Toba dalam setiap upacara adat yang dilaksanakan, keberagaman dengan berbagai filosopi. Banyak hal atau cara mengungkapkan ucapan syukur dan cara menyampaikan doa kepada Sang Pencipta agar senantiasa segala permohonan doa dikabulkan.
Baca berita menarik lainnya di batakita.com
sumber : https://tobaria.com/manghalat-horbo-tradisi-kurban-di-tanah-batak/