
Dalam masyarakat Batak, khususnya, Toba, tingkatan kegiatan-kegiatan adat maupun ritual budaya dapat dilihat dari binatang apa yang disembelih. Yang paling tinggi adalah kerbau, yang oleh masyarakat Batak Toba sering diistilahkan sebagai “Gajah Toba”. Sosok kerbau dalam pemahaman budaya masyarakat Batak Toba, memiliki sejumlah simbol. Antara lain, kejayaan, kekuatan, kebenaran, kesabaran dan penangkal roh jahat. Tidak heran bila simbol-simbol kerbau ada dalam seni ukir dan aristektural Batak Toba, di mana pada ujung puncak atap rumah dihiasi dengan motif Ulu Paung (kepala raksasa) yang menggunakan tanduk kerbau.
Kerbau bukanlah hewan tak berguna. Di sawah, kerbau digunakan para petani untuk membantu menggarap dan membajak sawah. Selain itu, kerbau juga digunakan sebagai alat transportasi bagi rakyat, khususnya di pedesaan. Lain lagi dengan masyarakat Toraja. Bagi masyarakat Toraja, kerbau merupakan simbol status sosial. Sebagai simbol status sosial, kerbau pun dihargai dengan sangat mahal, terutama kerbau belang atau Bonga yang warnanya setengah albino. Kerbau jenis ini harganya bisa mencapai 100 juta rupiah per ekor. Simbol status ini akan makin terlihat dalam upacara kematian “Rambu Solo” di masyarakat Toraja tersebut.
Dalam upacara “Rambu Solo”, anggota masyarakat yang dapat mempersembahkan banyak kerbau, nama keluarganya akan terangkat tinggi sekali, sangat dihargai, dan disegani. Bagi orang yang berduit, mereka bisa membeli lebih dari seratus ekor kerbau. Kalau harga kerbau sekitar 20 juta rupiah maka duit yang harus mereka keluarkan bisa mencapai 2 milyar rupiah. Betapa kayanya orang tersebut. Makna kerbau dalam relief Candi Borobudur dan Candi Sojiwan lebih mulia lagi. Pada masa lalu itu, kerbau disimbolkan sebagai tokoh pengajaran moral dan budi pekerti dalam masyarakat Jawa. Dalam cerita rakyat pun, kerbau selalu diceritakan sebagai hewan yang setia dengan petani, rajin, suka bekerja keras, santun, tidak suka marah, dan selalu hormat terhadap hewan lainnya. Bahkan Raffles dalam bukunya “The History of Java” menyebutkan bahwa para pangeran dan bangsawan di tanah Sunda mendapat gelar yang mengacu pada sebutan “Maesa lalean” dan “Mundingsari”. “Maesa” atau kebo merupakan sebutan orang Jawa untuk menyebut kerbau, sedang “munding” adalah sebutan kerbau bagi orang Sunda. Munding merupakan sebutan penghormatan bagi jasa seorang pangeran yang telah memperkenalkan cara bertani pada masyarakatnya.
Begitu pula dalam upacara perayaan “Malam Satu Suro” di Kraton Surakarta Hadiningrat, kerbau mendapat tempat atau posisi yang istimewa. Dalam perayaan tersebut, kirab Malam Satu Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule atau kerbau albino itu merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Barisan berikutnya dalam kirab tersebut, di belakang Kebo Bule adalah para putra Sentana Dalem atau kerabat keraton yang membawa pusaka. Kemudian diikuti oleh masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen, dan Wonogiri. Secara turun-temurun kerbau bule tersebut terus bertindak sebagai penjaga pusaka Kyai Slamet hingga akhirnya masyarakat luas menyebut kerbau itu sebagai “Kerbau Kyai Slamet”. Namun nama kerbau tersebut bukan Kyai Slamet. Kerbau Kyai Slamet mengandung arti sebagai kerbau yang menjaga Kyai Slamet. Kyai Slamet itu sendiri adalah sebuah pusaka yang tak kasat mata, hanya Sang Raja yang tahu. Pada masyarakat Batak, kerbau juga dijadikan sebagai simbol yang bersifat sakral dan profan. Dalam upacara kematian seperti upacara “Saur Matua” dan “Mangokal Holi” (menggali tulang – memindahkan tulang dari kubur primer ke kubur sekunder) misalnya, kerbau dijadikan sebagai salah satu bagian penting dari rangkaian upacara.
Demikian pula dalam upacara perkawinan, “Horja Bius” (acara penghormatan terhadap leluhur), dan pendirian rumah adat, kerbau dijadikan sebagai pelengkap upacara, pelengkap adat, dan hewan korban. Dalam ornamen rumah adat Batak pun, tanduk kerbau mendapat perlakuan khusus. Tanduk kerbau yang disematkan pada rumah adat Batak tersebut melambangkan tingginya kedudukan sosial (prestise) dan kekuasaan/kepemimpinan pemiliknya.
Pesta saurmatua idealnya yang dipotong kerbau. Tapi sekarang tergantung kondisi ekonomi pihak yang menyelenggarakan.
Pesta saurmatua dalam masyarakat Batak Toba adalah upacara kematian bagi seseorang yang telah memiliki cucu dari semua anak dan borunya. Orang yang telah mencapai taraf itu dianggap telah “sangap” (berhasil) mendekati kesempurnaan.
Makanya, posisi tangan orang yang meninggal saurmatua itu telungkup. Itu artinya dia telah berhasil menunaikan tanggungjawabnya hidup di dunia ini. Karena bagi orang Batak Toba, adalah kebanggaan bila setidaknya ia bisa melihat dua generasi di bawahnya secara lengkap. Dalam arti keturunan dari anaknya dan keturunan dari boru (putrinya).
Dalam budaya orang Batak Toba, sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke Tanah Batak, persembahan kerbau telah digunakan dengan tiga alasan. Pengaruh agama Hindu dan Buddha telah lebih dulu masuk ke wilayah Tano Batak.
Menurut pendapat beberapa ahli purbakala, seperti ditulis oleh Ir. Bisuk Siahaan dalam bukunya Batak Toba, ada tiga teori mengenai pengaruh agama Hindu dan Buddha terhadap masyarakat Batak tempo dulu. Pertama menurut L. J. Warneck: pengaruh Hindu di Tanah Batak datang dari Pulau Jawa.
Hal ini terlihat dari beberapa istilah agama yang dikutip dari ajaran Hindu, misalnya Debata (dalam bahasa Batak) yang berasal dari kata Deva (bahasa Hindu-Jawa) dengan arti: Tuhan. Teori kedua oleh W. Kodding, Edwin M. Loeb, dan J. Tideman: pengaruh agama Hindu di Tanah Batak langsung dari pedagang India.
Tampak pada tulisan mitologi, bahasa, kalender, buku Pustaha Laklak, permainan catur, pembakaran mayat, dll. Pendapat ketiga, yang kurang banyak pendukungnya: pengaruh Hindu di kawasan Batak datang dari Sumatera Selatan. Di zaman dulu, saat pesta bius, selalu didirikan sebatang tonggak kayu (borotan) berhiaskan daun beringin sebagai simbol Pohon Hidup.
Pada borotan ditambatkan seekor kerbau sebagai persembahan bagi Mula Jadi Nabolon. Kerbau dipersembahkan sebagai kurban dengan tiga alasan:
- Dianggap sebagai hewan paling kaya dari semua binatang piaraan; mempunyai dua tanduk, empat pusat, dan sangat perkasa.
- Sepasang tanduk kerbau merupakan lambang keturunan dua nenek moyang orang Batak, yakni Lontung dan Sumba.
- Kerbau selalu setia membantu manusia, misalnya membajak sawah, agar hasil pertanian melimpah-ruah.
Kerbau telah dikenal sebagai binatang peliharaan yang bisa dimakan sejak, perabadan Lembah Indus, India (4500 tahun yang lalu), China (3500 tahun yang lalu), dan Mesir (800 tahun yang lalu).
Dalam bukunya The History of Sumatera, Williem Marsden menyebutkan bahwa kerbau merupakan hewan domestikasi yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat bermata pencaharian di bidang pertanian. Kerbau digunakan sebagai sarana transportasi (kendaraan), untuk membantu mengolah lahan pertanian, dan kotorannya dapat dijadikan pupuk.
Secara khusus di Sumatera Utara peninggalan arkeologis kerbau itu dapat dijumpai pada peninggalan- budaya megalitik/tradisinya dalam bentuk patung, relief, maupun lukisan. Salah satunya pada punden berundak di Situs Batu Gaja, Simalungun. Karenanya bisa diperkirakan bahwa pemanfaatan kerbau di Sumatera Utara sudah dikenal sejak budaya megalitik berkembang di wilayah ini.
semoga bermanfaat.
Baca hal-hal yang berkaitan tentang sumut di Batakita.com
Sumber: https://medanbisnisdaily.com/news/online/read/2018/02/17/25634/kerbau_binatang_arkeologis_masyarakat_batak/
Hastag : #Budaya #batak #terpilih #Kerbau #sumut