Opera Batak, suatu kesenian tradisional Sumatra Utara yang memadukan drama, tarian, musik dan vokal dalam satu pertunjukan. Opera ini telah ada sejak periode 1920, dirintis oleh seniman bernama Tilhang Oberlin Gultom.
Sebuah kesenian tradisional Sumatra Utara yang ada dan berkembang sejak periode 1920, kemudian redup di 1970-an.
Opera Batak mengangkat cerita tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Batak.
Konsep penciptaan dan pertunjukannya yaitu layaknya teater keliling.
Para seniman opera akan berkeliling dari kampung ke kampung, menetap di kampung tersebut dan menyerap cerita dari masyarakat untuk ditransformasikan ke dalam pertunjukan.
Pertunjukan Opera Batak ini lazimnya menghadirkan tarian tor-tor, dendang ratapan, cerita serta iringan musik dari instrumen musik tradisional, seperti kecapi, seruling, garantung, dan lain sebagainya.
Pada periode 1920 hingga 1960-an, Opera Batak merupakan kesenian yang sangat populer di Sumatra Utara.
Namun, kesenian ini mulai redup pamornya setelah periode 1970-an, bersamaan dengan derasnya arus modernisasi yang masuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakat Batak.
Hari ini, Opera Batak dikenal sebagai salah satu produk seni pertunjukan khas Batak.
Namun, bentuknya sudah banyak berubah dan tereduksi dengan konsep pertunjukan modern, yang banyak menghilangkan karakter pertunjukan itu sendiri.
Menurut Etnomusikolog, Rithaony Hutajulu, Opera Batak sejatinya adalah sebuah traveling teater, karena sifatnya yang berkeliling dari satu kampung ke kampung. Hal inilah yang hilang pada Opera Batak hari ini.
Meski masih banyak kalangan yang masih konsisten menghadirkan pertunjukan Opera Batak saat acara-acara besar, seperti Natal atau yang lainnya, namun bentuknya lebih mirip sebagai pertunjukan teater biasa yang membawakan cerita-cerita dari masa lalu, seperti kisah kebangsawanan, kepahlawanan dan sebagainya.
“Opera Batak, sebagai suatu traveling teater dari desa ke desa, itu sudah tidak ada lagi.
Ini karakteristik khas, dulunya para seniman itu mereka berkeliling selama tinggal di kampung-kampung, mengambil inspirasi dari cerita-cerita yang ada di kampung tersebut untuk ditampilkan,” ungkap Rithaony dalam sesi diskusi daring Bincang Literasi Musik Tradisi Nusantara, Kamis (05/8).
Ia menjelaskan, Opera Batak di masa lalu adalah media komunikasi bagi masyarakat. Cerita-ceritanya bersumber dari realitas yang ada dalam masyarakat, sehingga sekaligus menjadi cermin sosial pada zamannya.
Namun, Opera Batak hari ini tak lagi berkembang sebagaimana pola awalnya.
Banyak seniman yang mencoba mengangkat kembali pertunjukan Opera Batak dalam berbagai kesempatan.
“Tantangan kalau opera batak ingin berlanjut, dia juga harus kontekstual. Jadi kemampuan seniman opera batak saat ini bisa menangkap gejala yang terjadi hari ini. Itu satu hal.
Kemudian juga bagaimana menggarap pertunjukannya sendiri. Mungkin kita sekarang sudah macam-macam teknologinya,” jelas staf pengajar Etnomusikologi Universitas Sumatra utara ini.
Rithaony yang banyak menghabiskan waktu meneliti musik-musik pada Opera Batak ini mengatakan, Opera Batak hari ini seharusnya beradaptasi dengan fenomena zaman kini, baik dari segi cerita maupun penggarapannya.
Jika tidak, akan menjadi “artefak” yang tidak berkembang, kehilangan fungsinya sebagai cermin kehidupan karena tak lagi relevan dengan masyarakat kekinian.
Baca juga hal-hal yang berkaitan dengan Sumut di: batakita.com
Hastag: #budaya #terpilih #kesenianbatak #operabatak #kesenianadat #kebudayaanmedan #kebudayaanbatak #kesenianindonesia
Sumber: validnews.id