Arus utama kebudayaan adalah universalisme. Dapat kita lihat dari keterkaitan antarproduk kebudayaan, bahkan lintas negara. Apalagi jika menyangkut nilai-nilai yang dikandungnya. Namun sayang, seringkali nilai-nilai ini tak sempat digali. Baik dikarenakan ketakmampuan pemilik budayanya, atau akibat dari trend keseragaman global.
Contohnya adalah warna Batak (Toba). Seperti kita tahu, ciri khas warna Batak adalah hitam-putih-merah. Warna-warna ini akan bermakna bila susunannya tepat. Jika bentuknya piramida, maka merah adalah yang paling dasar. Selanjutnya putih, kemudian hitam pada bagian atas. Begitu juga bila dipakai dalam seni ukir atau lazim disebut gorga.Ornamen-ornamen kecil adalah merah, yang sisinya putih. Sedangkan bagian penampang berwarna hitam. Memang aturan ini terkesan kaku. Namun jika orientasinya berdasarkan nilai, maka harusnya pakem-pakem itu dipatuhi.
Lebih dulu akan kita pahami nilai-nilai warna itu sendiri, sebelum kita kaitkan dengan dasar hukum dan spiritualitas yang mendasarinya. Hitam. Secara umum, psikologi warna ini menyiratkan karakter kuat, teguh dan bijaksana. Dalam teori fisika, spektrum warna hitam tidak memancar keluar. Justru ia menyerap energi sehingga si pemakainya akan tetap hangat, meski dalam keadaan cuaca dingin.
Sedangkan putih yang melambangkan kesucian, merupakan warna yang netral terhadap warna-warna lain. Spektrum yang ia pancarkan dapat diterima warna lain sehingga menghasilkan kombinasi yang harmonis. Efek warna yang dihasilkan mengandung sifat keikhlasan. Karena sifatnya itu, tidak heran jika putih menjadi warna wajib bagi sejumlah profesi yang berkaitan langsung dengan manusia. Contohnya dokter, palang merah, perawat, biarawati dan lainya.
Demikian juga merah. Spektrum yang dipancarkan warna ini sangat kuat. Sehingga apa yang ada di sekitarnya ikut berpengaruh. Merah menyimbolkan keberanian, kekuatan bahkan angkara murka. Tidak heran jika warna merah dijadikan simbol power.
Psikologi warna ini sebenarnya bersifat universal dan lazim ditemukan di kelompok-kelompok masyarakat tradisional. Bahkan dalam banyak literasi kebudayaan di luar Indonesia, sering kita temukan pemaknaan yang sama. Yang membedakannya adalah legitimasi atau sumber-sumber tertentu yang mendasari lahirnya keyakinan itu.
Representasi Tiga Dewa
Pada masyarakat tradisi Batak Toba, ketiga warna ini merupakan representasi dari Debata Natolu (tiga dewa). Ketiga dewa itu yakni Batara Guru, Sori Sohaliapan dan Bala Bulan. Dalam keyakinan Batak Toba, kepada Debata Natolu inilah masa depan bumi dan kehidupannya diserahkan oleh Mulajadi Nabolon (sosok Pencipta). Pada prinsipnya kolaburasi Debata Natolu itu adalah Mulajadi Nabolon. Dengan pengertian lain, Debata Natolu merupakan bagian dari masing-masing fungsi Mulajadi Nabolon. Tidak jauh dari prinsip trinitas yang diimani pemeluk agama Kristen, khususnya Katolik.
Maka ketiga sosok inipun memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda. Batara Guru berperan sebagai peletak dasar hukum bagi manusia sehingga fungsinya adalah sebagai hakim agung. Hakim adalah sosok mulia yang memiliki karakter yang bijaksana. Keputusannya harus berlaku adil dan benar. Apabila ia salah menentukan keputusan, maka ia telah mengorbankan kehidupan orang lain. Demikianlah Batara Guru disimbolkan sebagai warna hitam. Ia adalah pengambil keputusan dalam kosmologis Batak Toba.
Sori Sohaliapan dalam spiritual Batak Toba hadir sebagai sosok yang bertugas menegur orang-orang yang bersalah. Tugas terpentingnya adalah mengajak manusia bertobat. Karenanya Sori Sohaliapan disimbolkan dengan warna putih. Warna putih adalah fase yang harus dilalui manusia agar mencapai tingkat kebijaksanaan yang tinggi. Dalam arti harus dengan jalan pertobatanlah, maka manusia akan menjadi sosok yang bijaksana. Sori Sohaliapan layaknya sebuah cermin refleksi bagi manusia. Karena bertugas mengajak dan memberi pertobatan bagi manusia yang berdosa, maka Sori Sohaliapan diyakini dapat menjelma dalam wujud yang tak terduga. Juga berada di tempat-tempat yang tidak terbayangkan.
Terakhir adalah Bala Bulan. Bala Bulan bertugas menjaga dan memelihara kehidupan. Itu sebabnya Bala Bulan memiliki kekuatan yang dapat membangun atau menghancurkan kehidupan manusia. Bahkan Bala Bulan juga punya wewenang untuk menghukum manusia. Setelah mendapat hukuman itu, diharapkan manusia diharapkan bertobat. Dalam arti masuk ke dalam level warna putih. Seterusnya untuk kemudian menjadi bijaksana (hitam).
Lewat spiritual tiga warna itu, dapat kita pahami apa yang hendak dicapai masyarakat Batak dalam hidupnya, yakni kesempurnaan. Urutan ketiga warna itu pada dasarnya adalah tahapan-tahapan hidup seorang manusia. Ia harus menyadari kekuatan yang ada dalam dirinya. Kekuatan itu harus diolah dan digunakan untuk kebaikan. Apabila ia dihadapkan pada suatu persoalan yang masih bersifat rasional, ego akan menegurnya. Sedangkan pada kasus-kasus tertentu, ia membutuhkan pertimbangan super ego.
Maka tidak heran dalam upacara spiritual Batak, khususnya pra Kristen, masyarakat Batak sangat memperhatikan penempatan ketiga warna ini. Misalnya ketika seseorang berdoa memohon diberi kekuatan ia akan mengorbankan ayam merah dan memohon kepada Bala Bulan. Demikian pula jika hendak mengaku dosa, maka hewan kurbannya berwarna putih yang dipersembahkan kepada Sori Sohaliapan. Tetapi sesudah masuknya ajaran Kristen, detail-detail ini tidak selalu dipakai. Orang Batak cukup berdoa kepada Mulajadi Nabolon. Demikian juga warna-warna ini tak lagi dipakai secara ketat, seperti di masa lalu.
Baca artikel lainnya di batakita.com
sumber : medanbisnisdaily.com