
Indonesia adalah negara besar yang dibangun oleh beragam suku, budaya, dan tokoh dari berbagai penjuru nusantara. Salah satu kelompok etnis yang memberi kontribusi penting bagi negeri ini adalah suku Batak dari Sumatera Utara. Tak hanya dikenal lewat tradisi dan kekayaan budayanya, sejumlah tokoh berdarah Batak juga telah mengukir sejarah di tingkat nasional—termasuk dengan menduduki jabatan strategis sebagai menteri dalam berbagai kabinet pemerintahan, mulai dari era Sukarno, Orde Baru, hingga masa reformasi.
Dalam narasi kali ini, kita akan menelusuri beberapa tokoh berdarah Batak yang pernah menjadi menteri di Indonesia dan ikut menentukan arah perjalanan Republik Indonesia.
Ir. Mananti Sitompul – Menteri Kesehatan Non-Medis Pertama RI

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Ir. Mananti Sitompul muncul sebagai sosok penting. Lahir di Tapanuli tahun 1909, Mananti berkarier sebagai insinyur sipil lulusan TH Bandung (ITB). Di tengah krisis Agresi Militer Belanda II, ia dipercaya menduduki kursi Menteri Pekerjaan Umum sekaligus Menteri Kesehatan dalam Kabinet Darurat bentukan Pemerintahan Darurat RI (PDRI) pada Desember 1948. Uniknya, Mananti Sitompul menjadi orang pertama yang menjabat Menteri Kesehatan RI tanpa latar belakang dokter atau tenaga medis. Sebagai insinyur profesional, ia merangkap tugas mengurusi kesehatan rakyat di masa genting revolusi – suatu langkah pragmatis demi kelangsungan pemerintahan saat para pemimpin ditawan Belanda.
Mananti Sitompul melanjutkan kiprahnya setelah Indonesia kembali berdaulat penuh. Ia kembali ditunjuk Sukarno sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Perhubungan dalam Kabinet Halim tahun 1950. Dengan disiplin ilmu teknik, ia turut membangun infrastruktur dasar negara yang baru merdeka. Dedikasi dan kompetensi Mananti menjadikannya salah satu figur Batak pionir di tingkat nasional. Meskipun namanya tak selalu disebut dalam deretan menteri kesehatan resmi – fotonya bahkan tidak terpampang di galeri Kemenkes karena statusnya saat itu dianggap pelaksana tugas – kontribusi Mananti Sitompul dalam sejarah awal republik tetap tercatat. Ia wafat tahun 1980 di usia 70 tahun, dan dikenang sebagai tokoh Batak yang mengabdikan ilmu dan tenaganya bagi Indonesia muda.
dr. Hadrianus Sinaga – Dokter Samosir di Kursi Menteri Kesehatan

Dr. Hadrianus Sinaga adalah putra Batak kelahiran Samosir (1912) yang menorehkan sejarah di kancah nasional sebagai Menteri Kesehatan pada era demokrasi liberal. Hadrianus menempuh pendidikan kedokteran di NIAS Surabaya dan menjadi dokter bedah. Pasca Proklamasi, ia berjuang di kampung halaman sebagai Kepala Kesehatan Tentara di Tapanuli pada masa revolusi fisik. Berkat reputasinya, Hadrianus diangkat menjadi Menteri Kesehatan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956 – April 1957) di bawah Presiden Sukarno. Ia tercatat sebagai Menkes RI ke-6, menggantikan dr. Johannes Leimena waktu itu.
Kepemimpinan Hadrianus Sinaga di Kementerian Kesehatan bertepatan dengan tantangan meningkatkan layanan kesehatan pasca perang. Usai menjabat menteri, dr. Hadrianus kembali mengabdi di dunia pendidikan kedokteran. Ia turut mendirikan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan menjadi dekan di sana. Sosoknya dihormati sebagai dokter pejuang yang tetap berbakti mencerdaskan generasi muda. Atas jasanya, nama dr. Hadrianus Sinaga diabadikan sebagai nama rumah sakit umum daerah di tanah kelahirannya, RSUD dr. Hadrianus Sinaga di Pangururan, Samosir. Keteladanan dan kiprah dokter Bedah asal Samosir ini menunjukkan bahwa putra Batak tak hanya berperan di kancah politik, tapi juga berkontribusi besar di bidang kesehatan dan pendidikan nasional.
Tumpal Dorianus (T.D.) Pardede – “Raja Tekstil” yang Jadi Menteri Berdikari

Dikenal sebagai pengusaha sukses asal Balige, Tumpal Dorianus Pardede atau T.D. Pardede adalah contoh tokoh Batak yang dipercaya Sukarno masuk kabinet. Lahir tahun 1916, Pardede merintis usaha dari nol hingga dijuluki orang Batak terkaya di Tapanuli pada era pendudukan Jepang. Selepas kemerdekaan, ia membangun kerajaan bisnis di bidang tekstil (merek Pardedetex), perikanan, hingga perhotelan, dengan ribuan karyawan. Keberhasilan itu menarik perhatian Presiden Sukarno yang tengah menggagas konsep ekonomi “Berdikari” (berdiri di kaki sendiri). Pada 1965, Sukarno mengangkat T.D. Pardede sebagai Menteri Koordinator Perindustrian Rakyat Urusan Berdikari, sebuah pos kementerian baru yang khusus mendukung kemandirian industri rakyat. Ia menjadi satu-satunya figur yang pernah menjabat menteri dengan label “Berdikari” pada masa itu.
Sebagai menteri non-politikus, T.D. Pardede membawa perspektif pengusaha dalam kabinet. Meskipun hanya menjabat singkat (Juni 1965 – Maret 1966) karena gonjang-ganjing politik jelang kejatuhan Sukarno, pengangkatan Pardede menandai apresiasi pemerintah pada pengusaha pribumi. Selepas era tersebut, Pardede terus mengembangkan bisnisnya. Ia mendirikan Rumah Sakit Herna dan Universitas Darma Agung di Medan sebagai wujud kepedulian sosial. Klub sepak bola Pardedetex binaannya pun menjadi cikal bakal liga sepak bola profesional di Indonesia. Kisah T.D. Pardede – dari “Raja Tekstil” Medan hingga anggota kabinet Sukarno – menunjukkan bahwa etos kerja dan kesuksesan putra Batak di bidang ekonomi dapat menghantarkannya ke kancah nasional sebagai pembuat kebijakan.
Arifin M. Siregar – Ahli Deregulasi, Gubernur BI hingga Menteri Perdagangan

Arifin Mohamed Siregar, putra Batak Angkola kelahiran Medan tahun 1934, dikenal luas sebagai teknokrat di bidang ekonomi. Berbekal pendidikan tinggi di Belanda dan Jerman (meraih gelar doktor ekonomi di Münster tahun 1960), Arifin Siregar berkarier sebagai ekonom internasional sebelum pulang ke Tanah Air. Ia bergabung dengan Bank Indonesia dan mencapai puncak karier sebagai Gubernur Bank Indonesia periode 1983–1988. Pada masa itu, Arifin berperan mengarahkan kebijakan ekonomi Indonesia dari era regulasi ketat menuju deregulasi pasar. Kebijakan paket deregulasi perbankan 1980-an yang ia gulirkan berhasil membantu pemulihan ekonomi dan stabilisasi sektor moneter pasca krisis awal 1980-an. Atas jasanya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera oleh Presiden Soeharto tahun 1987.
Karier Arifin Siregar berlanjut ke pemerintahan. Presiden Soeharto menunjuknya sebagai Menteri Perdagangan pada Kabinet Pembangunan V (1988–1993). Selama menjabat menteri, Arifin turut merumuskan kebijakan perdagangan luar negeri seiring pesatnya pertumbuhan ekonomi Orde Baru. Setelah itu, ia pun dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (1993–1997) sebagai wakil bangsa di kancah internasional. Arifin Siregar dikenal sebagai sosok technocrat rendah hati dan bersih, yang ilmunya dimanfaatkan untuk kemajuan negara. Hingga tutup usia pada 2019, ia dikenang sebagai anak Medan berprestasi internasional – mantan gubernur bank sentral, menteri perdagangan, sekaligus diplomat – yang mengharumkan nama suku Batak di jajaran elit ekonomi Indonesia.
Jenderal (Purn.) Maraden Panggabean – Panglima ABRI dan Menhankam Era Orde Baru

Dari kancah militer, Jenderal TNI Maraden Saur Halomoan Panggabean menonjol sebagai tokoh Batak yang mencapai posisi puncak di era Orde Baru. Lahir di Tapanuli Utara tahun 1922, Maraden muda turut berjuang sejak masa revolusi fisik. Kariernya melesat pasca peristiwa G30S 1965, ketika ia termasuk perwira yang membantu Mayjen Soeharto mengambil alih kendali keamanan. Maraden Panggabean kemudian diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat (1967–1969) dan memimpin penumpasan sisa-sisa pemberontakan. Berkat loyalitas dan kemampuannya, ia dipercaya merangkap jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) sekaligus Panglima ABRI pada tahun 1973, menggantikan Jenderal M. Jusuf. Maraden menjabat Menhankam/Panglima ABRI hingga 1978, menjadi orang Batak pertama yang memegang kendali penuh atas angkatan bersenjata Indonesia. Pada masa itu ia turut menjaga stabilitas negara di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Setelah pensiun dari militer aktif, Maraden Panggabean masih ditugaskan sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan pertama, menjabat 1978–1983. Perannya vital dalam mengoordinasikan kementerian pertahanan, dalam negeri, dan luar negeri untuk mempertahankan stabilitas Orde Baru. Maraden juga aktif di organisasi masyarakat, termasuk menjadi Ketua Dewan Pembina Golkar dan memimpin lembaga adat kebudayaan Batak. Jenderal Panggabean wafat tahun 2000 dengan meninggalkan jejak kepemimpinan yang kuat. Kisahnya – dari putra desa di Tarutung hingga Panglima ABRI ke-6 – merupakan kebanggaan bagi masyarakat Batak. Ia menunjukkan bahwa etos kerja keras dan kecakapan Batak mampu mengantar sampai ke pucuk pimpinan militer dan pemerintahan Indonesia.
Jangan ketinggalan berita terkini dan konten menarik dari Batakita!
Dukung Kami:
Belajar jadi mudah dan praktis!
Temukan eBook berkualitas di www.platihan.id dan upgrade kemampuanmu!
