
Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, termasuk keragaman suku Batak di Sumatra Utara. Uniknya, di kalangan masyarakat Batak yang majemuk (Batak Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Angkola, Pakpak, hingga Nias), berkembang sejumlah gereja “kesukuan” – yaitu denominasi gereja Kristen Protestan yang identitasnya terkait erat dengan bahasa dan budaya sub-suku Batak tertentu. Gereja-gereja Batak ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat komunitas dan pelestarian budaya lokal. Artikel ini akan mengajak Anda berkenalan dengan gereja-gereja Batak paling terkenal di Indonesia, sejarah singkat pendiriannya, peran sosial-budaya dalam masyarakat Batak, hingga bagaimana gereja-gereja ini menyebar ke luar Sumatra Utara.
Gereja Batak Toba: HKBP, HKI, GKPI, GPKB

Gereja HKBP di Tarutung, Tapanuli Utara. (Huria Kristen Batak Protestan adalah gereja Batak Toba terbesar, dengan arsitektur gereja yang sederhana dan kalimat “Jahowa do Siparmahan Ahu” tertulis di fasadnya, yang berarti “Tuhan adalah Gembalaku” dalam bahasa Batak Toba.)
Suku Batak Toba merupakan sub-suku Batak terbesar, dan memiliki beberapa denominasi gereja yang melayani umat dalam bahasa dan budaya Toba. Berikut beberapa gereja utama Batak Toba:
- Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) – Inilah denominasi gereja Batak terbesar dan tertua. HKBP berdiri sejak tahun 1861 berkat penginjilan misionaris Jerman seperti Dr. I.L. Nommensen. Gereja beraliran Lutheran-Reformed ini tumbuh pesat dan kini menjadi gereja Protestan terbesar di Indonesia (bahkan salah satu terbesar di Asia) dengan sekitar 4 juta jemaat. HKBP menggunakan bahasa Batak Toba dalam liturgi dan lagu-lagu rohani, sehingga sangat lekat dengan identitas suku. Bayangkan, di Jakarta saja terdapat 83 gereja HKBP dengan sekitar 159.000 jemaat aktif – menandakan betapa luasnya diaspora Batak Toba! Sebagai pionir, HKBP juga berperan besar dalam pendidikan (misalnya mendirikan Universitas HKBP Nommensen) dan sosial masyarakat Batak sejak zaman kolonial hingga kini.
- Huria Kristen Indonesia (HKI) – Gereja ini awalnya bernama Huria Christen Batak (H.Ch.B.) dan lahir dari semangat kemandirian orang Batak terhadap misi asing. HKI didirikan pada 1 Mei 1927 di Pematang Siantar, menjadikannya salah satu gereja mandiri Batak pertama. Pada Sinode 1946, nama H.Ch.B diubah menjadi Huria Kristen Indonesia (HKI) agar cakupannya tidak hanya Batak Toba saja. Secara teologi, HKI beraliran Lutheran dan hingga kini berpusat di Pematang Siantar. HKI adalah gereja besar kedua bagi Batak Toba, dan melayani jemaat hingga ke luar Sumatra. Sifatnya yang inklusif (menggunakan nama “Indonesia”) menunjukkan gereja ini terbuka bagi non-Batak, meski mayoritas jemaatnya tetap orang Batak Toba.
- Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) – GKPI lahir dari dinamika internal HKBP pada awal 1960-an. Adanya keinginan pembaruan di tubuh HKBP yang tak tersalurkan kala itu berujung pada pemisahan sekelompok jemaat dipimpin Pdt. Dr. Andar Lumbantobing dan Pdt. Dr. Sutan Hutagalung. Mereka mendirikan GKPI pada 30 Agustus 1964 di Pematang Siantar. Jadi, GKPI adalah “anak sulung” HKBP yang berpisah secara damai, dengan harapan menjalankan pembaruan manajemen gereja. Saat ini GKPI memiliki ratusan ribu jemaat (sekitar 270 ribu anggota pada 2022). Walau mayoritas anggotanya suku Batak Toba, GKPI menyebar melayani hingga ke luar Sumatra (misalnya ke Jawa dan Kalimantan). Gereja ini turut memperkaya pelayanan rohani Batak dengan pendekatan yang lebih “ceria dan ramah” sesuai semboyannya.
- Gereja Punguan Kristen Batak (GPKB) – Berbeda dari yang lain, GPKB justru lahir di perantauan. Kata “Punguan” berarti perkumpulan; GPKB didirikan oleh komunitas Batak di Jakarta pada 1927 yang rindu beribadah dalam bahasa Batak Toba. Pasalnya, banyak orang Batak merantau ke kota-kota besar (termasuk Jakarta) dan kesulitan mengikuti kebaktian dalam bahasa Melayu tinggi atau Belanda saat itu. Awalnya terbentuk Bataksche Christelijke Gemeente (BCG) tahun 1927, namun karena konflik internal, sebagian jemaat memisahkan diri dan mendirikan Punguan Kristen Batak pada 1928 demi kemandirian. Inilah cikal bakal GPKB. Uniknya, kantor pusat GPKB tetap berada di Jakarta hingga kini. Meskipun jemaatnya tidak sebesar HKBP, gereja ini berperan sebagai wadah orang Batak di perantauan untuk bersekutu, melestarikan bahasa dan lagu-lagu Batak dalam ibadah, serta saling mendukung satu sama lain. GPKB telah berkembang dari Jakarta ke kota lain seperti Palembang, bahkan kembali melayani hingga Tanah Batak di Sumatra.
Gereja-gereja Batak Toba di atas menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya dalam kehidupan beragama suku Batak. Ibadah dengan liturgi berbahasa Batak, himne daerah, hingga struktur pelayanan yang melibatkan parenjemata (majelis jemaat) yang seringkali para tokoh adat setempat, membuat gereja menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur Batak Toba. Tak heran apabila di komunitas Batak Toba, gereja juga menjadi ajang silaturahmi marga (klan) dan sarana pelestarian nilai-nilai seperti hamoraon, hagabeon, hasangapon (filosofi kemakmuran, keberkatan keturunan, kehormatan) dalam terang iman Kristen.
Gereja Batak Karo: GBKP dan GIKI

Kompleks Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Desa Buluh Awar, Deli Serdang. (Gereja kecil beratap ijuk di kanan adalah bangunan GBKP asli tahun 1890 yang kini dijadikan museum, sementara di belakangnya berdiri gereja GBKP baru dengan arsitektur lebih modern. Desa Buluh Awar dikenal sebagai tempat dimulainya penginjilan di Tanah Karo sejak 18 April 1890 oleh pendeta H.C. Kruyt
Suku Karo mendiami wilayah dataran tinggi sekitar Kabanjahe, Berastagi, hingga Deli Serdang. Penyebaran agama Kristen di kalangan orang Karo dimulai akhir abad ke-19, dan hingga kini ada dua denominasi utama gereja Protestan Karo:
- Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) – Inilah gereja suku Karo terbesar. GBKP berdiri tanggal 18 April 1890 di Buluh Awar, Sibolangit, dipelopori misionaris dari Nederlandsch Zendeling Genootschap (Lembaga Zending Belanda). Awalnya, perkembangan gereja ini lambat karena resistensi masyarakat Karo yang curiga misionaris dianggap agen kolonial. Namun, setelah 50 tahun, GBKP bertumbuh mantap dan mencapai 5.000 anggota jemaat pada 1940. Sinode mandiri GBKP pertama kali diselenggarakan tahun 1941 dengan menahbiskan pendeta Karo lokal yang pertama. Sejak itu, GBKP terus berkembang dan kini berjemaat di 800-an gereja lokal (resort) di Karo dan daerah perantauan. Di Tanah Karo sendiri, GBKP bukan sekadar tempat ibadah: gereja ini menjadi pusat kehidupan sosial. Banyak kegiatan budaya seperti kerja tahun (pesta tahunan adat Karo) sering melibatkan komunitas gereja. Lagu-lagu pujian berbahasa Karo dan even kompetisi koor antargereja Karo turut melestarikan musik tradisional. GBKP juga aktif di bidang diakonia sosial, misalnya mendirikan panti asuhan, rumah sakit, dan sekolah di wilayah Karo. Bagi perantau Karo, gereja GBKP di kota lain ibarat “rumah kedua” untuk berkumpul, lengkap dengan sapaan khas “Mejuah-juah!” tiap bertemu sesama orang Karo.
- Gereja Injili Karo Indonesia (GIKI) – Dibanding GBKP, GIKI bisa dibilang lebih muda dan berkarakter injili (evangelikal). GIKI didirikan pada 27 Juni 1992 di Kabanjahe, Kabupaten Karo. Latar belakang kemunculannya adalah kerinduan sebagian orang Karo untuk pelayanan yang lebih oikumenis dan fokus penginjilan di komunitas Karo. GIKI berafiliasi dengan Persekutuan Gereja-gereja Injili Indonesia (PGLII), yang menekankan kebangunan rohani. Meskipun jemaatnya tidak sebesar GBKP, GIKI menawarkan warna berbeda: ibadah yang lebih fleksibel, banyak worship song terjemahan, namun tetap memakai bahasa Karo dalam khotbah dan doa. Gereja ini berkembang di wilayah Karo dan kota Medan, menjangkau jemaat Karo yang menginginkan nuansa ibadah modern tanpa meninggalkan identitas sukunya. Sebagai contoh, di GIKI sering diadakan kebaktian kebangunan rohani dengan musik band rohani berbahasa Karo – suatu perpaduan unik antara tradisi dan kekinian. Kehadiran GIKI menegaskan bahwa kekristenan di kalangan suku Karo itu beragam dan dinamis, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Gereja Batak Simalungun: GKPS
Suku Simalungun mendiami wilayah Kabupaten Simalungun dan sekitarnya di Sumatra Utara. Mereka memiliki Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) sebagai gereja Protestan utama. Sejarahnya tak lepas dari peran misionaris Jerman Rheinische Mission yang masuk ke tanah Simalungun pada 1903. Seorang pendeta Jerman bernama Agust Theis memulai penginjilan di Simalungun tahun 1903, yang kemudian berbuah komunitas jemaat Kristen pertama di sana. Awalnya, jemaat Simalungun ini bernaung di bawah HKBP (disebut HKBPS – HKBP Simalungun), mengingat RMG juga membawahi HKBP di Tapanuli.
Namun, agar pelayanan lebih efektif dengan bahasa dan adat Simalungun, umat setempat berjuang untuk mandiri. Akhirnya pada 1 September 1963, HKBPS resmi berdiri sendiri sebagai GKPS. Tonggak ini ditandai dengan penandatanganan surat pemisahan oleh perwakilan HKBP dan tokoh Kristen Simalungun, Pdt. Jenus Purba, di Pematangsiantar. Sejak itu GKPS berkembang pesat. Gereja ini berbahasa Simalungun dalam liturgi, dan memiliki himne daerah sendiri. Haleluya Simalungun dan terjemahan Alkitab bahasa Simalungun pun diterbitkan untuk mendukung pelayanan.
GKPS memainkan peran penting dalam pelestarian budaya Simalungun. Banyak istilah teologis Kristen yang diserap ke dalam bahasa Simalungun, bahkan tarian Tor-tor Simalungun kerap ditampilkan dalam perayaan ulang tahun gereja. Dari segi sosial, GKPS aktif mendukung pendidikan (misalnya sekolah GKPS di Pematang Raya) dan pertanian rakyat, sesuai budaya Simalungun yang agraris. Saat ini, GKPS memiliki ratusan gereja lokal dengan jemaat tersebar hingga ke luar daerah asalnya. Di perantauan (misal di Medan, Riau, Jawa), jemaat Simalungun dapat menemukan kebaktian berbahasa Simalungun di gereja-gereja GKPS, sehingga tali persaudaraan “habonaron do bona” (falsafah kebenaran sebagai dasar) tetap terjaga di mana pun mereka berada.
Gereja Batak Angkola/Mandailing: GKPA
Sub-suku Angkola dan Mandailing menempati wilayah Tapanuli bagian selatan. Berbeda dengan Toba atau Karo, mayoritas orang Angkola-Mandailing memeluk Islam sejak abad ke-19. Meski demikian, ada komunitas Kristen Angkola/Mandailing yang cukup signifikan, dilayani oleh Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA). Gereja ini merupakan pengembangan dari pelayanan HKBP di daerah Angkola sejak pertengahan abad ke-20. Dahulu, gereja-gereja HKBP di Angkola diberi inisial “HKBP-A” (HKBP Angkola). Setelah dirintis cukup lama, HKBP akhirnya memberikan otonomi penuh dan GKPA resmi berdiri sebagai sinode mandiri pada 26 Oktober 1975. Nama awalnya tetap HKBP-Angkola, lalu berganti menjadi GKPA setelah juga bergabung dengan suatu gereja Angkola lain pada 1988.
GKPA melayani umat Kristen dari suku Angkola dan Mandailing, yang wilayahnya meliputi sekitar Padang Sidempuan, Sipirok, hingga Mandailing Natal. Liturgi GKPA menggunakan bahasa Angkola (yang mirip bahasa Batak Mandailing), sehingga umat bisa lebih khusyuk beribadah dalam bahasa ibu mereka. Karena komunitas Kristen Angkola-Mandailing relatif kecil di tengah populasi mayoritas Muslim, gereja ini ibarat “garam dan terang” yang perannya vital. Jemaat GKPA seringkali adalah keluarga campuran (beberapa kerabat Muslim, beberapa Kristen), sehingga gereja menekankan sikap toleransi dan kasih dalam masyarakat plural. Secara budaya, GKPA turut menjaga tradisi lokal – misalnya nyanyian rohani bergaya ende Angkola dan peribahasa bijak Angkola disisipkan dalam khotbah. Anak-anak muda Angkola yang berjemaat di GKPA diajar dua bahasa: bahasa Indonesia untuk umum, dan bahasa Angkola untuk percakapan internal gereja, demi menjaga bahasa daerah tetap hidup. Saat ini GKPA berpusat di Padang Sidempuan dan memiliki puluhan gereja di Sumatra Utara. Di perantauan, jemaat Angkola/Mandailing biasanya bergabung ke HKBP atau HKI terdekat jika tidak ada GKPA, namun identitas kekhasan mereka tetap diingat, contohnya dengan mengadakan ibadah khusus berbahasa Angkola pada acara-acara tertentu.
Gereja Batak Pakpak: GKPPD
Suku Pakpak (sering disebut Pakpak-Dairi) mendiami daerah Dairi, Pakpak Bharat, dan sebagian Aceh Singkil. Mereka juga memiliki gereja suku tersendiri, yakni Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD). Sejarahnya bermula dari pelayanan HKBP di tanah Pakpak sejak awal 1900-an. Tercatat, Pdt. Samuel Panggabean diutus HKBP menginjili Pakpak pada tahun 1905. Hasilnya, komunitas Kristen tumbuh dan pada 3 Maret 1963 berdirilah jemaat HKBP Pakpak di Simerkata (Sumbul).
Dengan meningkatnya jumlah umat, jemaat Pakpak menginginkan pengelolaan yang mandiri. Proses menuju kemandirian cukup panjang, hingga akhirnya pada sidang 20 Oktober 1990 diputuskan nama sinode baru dan aturan gereja Pakpak secara terpisah dari HKBP. GKPPD resmi diresmikan pada 25 Agustus 1991 di Medan dengan menahbiskan Pdt. E.J. Solin sebagai Bishop pertamanya. Pemerintah RI kemudian mengakui badan hukum GKPPD pada tahun 1996. Jadi, GKPPD termasuk “anak bungsu” di antara gereja-gereja Batak karena lahir di era 90-an.
GKPPD berpusat di Sidikalang, Kabupaten Dairi. Gereja ini berbahasa Pakpak dalam ibadah, meski kadang diselingi Bahasa Indonesia mengingat Bahasa Pakpak memiliki beberapa dialek. Meskipun tergolong kecil, GKPPD sangat signifikan bagi identitas Pakpak. Melalui gereja, bahasa dan adat Pakpak dipertahankan. Contohnya, saur matua (upacara kematian adat Pakpak) diintegrasikan dengan liturgi Kristen saat anggota jemaat meninggal, sehingga adat dan iman berjalan seiring. Tantangan khusus di daerah Pakpak adalah letaknya yang berbatasan dengan provinsi Aceh, di mana sempat terjadi ketegangan soal izin rumah ibadah. Pada 2012, sejumlah gereja GKPPD di Aceh Singkil pernah mengalami penyegelan bahkan pembakaran oleh oknum tidak toleran. Namun, hal ini justru membuat solidaritas masyarakat Pakpak kian erat, lintas agama saling bahu-membahu membangun kerukunan. Kini GKPPD terus bertumbuh dan merangkul jemaat hingga ke kota Medan dan sekitarnya (menyediakan wadah bagi perantau Pakpak untuk beribadah). Semangat dalihan natolu (falsafah kekerabatan Batak) tetap dipegang teguh, mencerminkan kekeluargaan akrab di lingkungan GKPPD.
Gereja Suku Nias: BNKP
Walau suku Nias (Ono Niha) bukan tergolong Batak secara etnis, sering kali pembahasan gereja di Sumatra Utara turut menyertakan Nias karena kedekatan geografis dan sejarah. Pulau Nias di lepas pantai barat Sumatra memiliki gereja Protestan mayoritas bernama Banua Niha Keriso Protestan (BNKP). Dalam bahasa Nias, Banua Niha Keriso berarti “Persekutuan Orang-orang Kristus”. BNKP bermula dari misi Rheinische Missionsgesellschaft (RMG, misi Jerman) yang tiba di Nias pada 27 September 1865, dibawa oleh penginjil Ernst Ludwig Denninger. Perintisan gereja di Nias mengalami jatuh bangun – baptisan pertama baru terjadi tahun 1874, dan hingga tahun 1890 jumlah Kristen masih sekitar 706 jiwa. Namun sekitar 1915 terjadi kebangunan rohani besar, sehingga jumlah orang Kristen melonjak pesat (dari 20.000 pada 1915 menjadi 60.000 pada 1921!). Akhirnya sinode BNKP pertama berhasil dibentuk pada tahun 1936, menandai gereja Nias berdiri mandiri, meski hingga 1940 masih dipimpin oleh misionaris Jerman.
Saat ini BNKP merupakan gereja terbesar di Kepulauan Nias, meliputi sekitar 60-73% populasi Nias yang Protestan. Gereja ini berperan amat penting dalam kehidupan masyarakat Nias – boleh dibilang BNKP lah yang mempersatukan orang Nias dalam satu kesatuan etnis dan bahasa. Bayangkan, Alkitab dalam bahasa Nias sudah ada sejak 1913, menjadikan bahasa Nias Utara sebagai bahasa gereja dan pemersatu seluruh pulau. Dari sisi budaya, BNKP turut menjaga adat Nias seperti famadaya harimao (upacara syukur) atau tarian perang tradisional yang kini disajikan dalam versi rohani saat perayaan gereja, menggantikan makna ritual lama dengan penghayatan baru tanpa menghilangkan bentuk budayanya. Gereja BNKP juga aktif dalam pendidikan (banyak sekolah di Nias didirikan oleh gereja) dan pelayanan sosial terutama pasca gempa Nias 2005, mereka terdepan dalam pemulihan trauma warga.
Menariknya, karena banyak putra-putri Nias merantau, BNKP meluas ke luar Pulau Nias. Sejak 1960-an, jemaat BNKP telah hadir di kota Medan, Padang, Pekanbaru, Batam, Jakarta, Bandung, Surabaya, hingga kota lainnya. Biasanya di kota-kota tersebut didirikan “Banua” (jemaat cabang) BNKP sehingga orang Nias perantauan dapat beribadah dalam bahasa Nias dan mempertahankan identitasnya. Selain BNKP, di Nias juga ada satu sinode lagi yaitu Orahua Niha Keriso Protestan (ONKP) yang muncul tahun 1952 akibat perbedaan teologi pasca kebangunan rohani; namun BNKP tetap yang terbesar. Baik BNKP maupun ONKP sama-sama menggunakan bahasa dan adat Nias dalam gereja. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekristenan di Nusantara bisa berinkulturasi dengan budaya lokal, menciptakan kekayaan mosaik gereja suku yang unik.
Gereja-gereja Batak yang terkenal di Indonesia bukan hanya tempat ibadah semata, melainkan institusi sosial-budaya yang berperan besar dalam menjaga identitas suku di tengah arus modernisasi.
Jangan ketinggalan berita terkini dan konten menarik dari Batakita!
Dukung Kami:
Belajar jadi mudah dan praktis!
Temukan eBook berkualitas di www.platihan.id dan upgrade kemampuanmu!
