
sumber gambar : nationalgeographic.grid.id
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Dengan kondisi geografis yang strategis dan dikelilingi perairan, Indonesia jugakaya akan sumber daya alam dan lautan. Bahkan, sebagian masyarakat Indonesia pun masih mengandalkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Salah satu profesi yang lekat kaitannya dengan alam dan laut adalah nelayan. Adanya sumber daya alam berupa lautan dan danau, membuat masyarakat sekitar menggantungkan hidup mereka dari tangkapan ikan setiap harinya.
Masyarakat di sekitar Danau Toba memiliki tradisi unik yang beragam. Sampai saat ini, masih banyak dari tradisi tersebut yang dipercaya bahkan dilestarikan. Salah satunya adalah Tradisi Mardoton. Tradisi ini merupakan tradisi cara menangkap ikan yang dilakukan para leluhur masyarakat Danau Toba sejak puluhan tahun lalu. Menurut kamus batak, mardoton artinya menjaring. Secara lebih lengkap mardoton dimaknai sebagai suatu cara bertangkap ikan yang sudah diterapkan lama oleh para nelayan di Kawasan Danau Toba.

Mardoton awal mulanya dilakukan menggunakan bubu, yaitu alat penangkap ikan yang dibuat dari saga atau bambu yang dianyam lalu dipasang dalam air. Namun, Sering berjalannya waktu, penggunaan bubu beralih ke penggunaan doton atau jaring. Biasanya doton dibuat dari atom maupun berbahan kain yang dirajut menjadi mata jaring beragam ukuran sebelum akhirnya diproduksi massal secara pabrikan.
Sayangnya, belakangan ini mulai muncul kebiasaan nelayan untuk menangkap ikan menggunakan strum, bom ikan, atau racun. Kebiasaan ini tidak baik karena karena dapat merusak ekosistem air Danau Toba.
Lihat Juga : Marturtur atau Bertutur Sapaan Dalam Kebudayaan Batak
Prosesi Festival Mardoton

Ada serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam Festival Mardoton ini. Acara dimulai dengan kegiatan menurunkan solu atau perahu ke Danau Toba, yang bertujuan agar membawa keberuntungan pada pengguna.
Kemudian, membuat sesajian dari tepung beras untuk media doa kepada Tuhan Sang Pencipta melalui Namboru Saneang Naga Laut, yang dalam kepercayaan masyarakat Danau Toba diyakini sebagai Dewi Air.
Dalam festival ini, kegiatan tak hanya berfokus pada acara menangkap ikan saja. Namun, festival ini juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat melalui beberapa rangkaian kegiatan, antara lain Focus Group Discussion (FGD), pembentukan Komunitas Pardoton, perlombaan Manopong Doton, edukasi ekosistem Danau Toba, dan pameran kuliner.
Kemudian, biasanya diikuti dengan penaburan ribuan benih ikan di Danau Toba, lomba menghias solu atau perahu, pameran kuliner ikan Danau Toba, dan pemutaran film semi dokumenter ‘Ahu Pardoton’, serta penanaman bibit pohon.

Tradisi Mardoton dilakukan setiap tahun pada Bulan Sipaha Sada atau bulan pertama pada Penanggalan Kalender Batak. Salah satu desa yang masih memegang tradisi ini adalah Desa Tuktuk Siadong di Kabupaten Samosir.
Lewat tradisi Mardoton, masyarakat tidak menggunakan jaring kawat tetapi menggunakan “doton” atau jaring berbahan kain untuk menangkap ikan. Untuk menjaga keseimbangan, doton umumnya memiliki ukuran jaring yang lebih besar.
Meski begitu, membuat doton tidak bisa dilakukan sembarangan. Terdapat aturan khusus dan hitung-hitungan tepat dalam membuat doton. Dengan begitu, benda ini mampu menghasilkan tangkapan ikan yang baik. Penggunaan doton juga memiliki kaidah tersendiri. Ketika menebar doton, masyarakat harus menyiapkan pelampung atau “ramo”.
Jarak ramo pertama dengan ramo kedua harus dihitung berdasarkan ketentuan tertentu. Hal ini bertujuan agar doton mampu menangkap ikan tanpa mencekik sehingga ikan bisa ditangkap dalam keadaan hidup.

FOLLOW :
Baca artikel menarik seputar Sumatera Utara di – batakita.com
sumber : nationalgeographic.grid.id