
Di beberapa kampung, banyak orang menjadi paranoia (ketakutan) dan membabi buta menuduhkan suatu penyakit atau tulah kepada ulah seseorang dukun. Mgr Anicetus memberikan contoh yang terjadi di tengah pasar Pakkat tahun 2003. Seorang yang dituduh menyandang begu ganjang diseret ke tengah publik dan langsung diramai-ramaikan sampai mati di depan pastor.
Ia lalu mengambil latar belakang bagaimana dulu nenek moyang orang Batak menjaga kehidupan mereka dengan hal-hal berbau mistik, seperti Sibiangsa. Struktur kampung pada masa itu dikelilingi oleh parit, yakni tanah galian yang diikuti oleh benteng kampung yang ditinggikan, dimana ditanam
buluduri yang rapat tak tertembus, dengan hanya ada satu pintu keluar. Pada masa itu, antara kampung dipenuhi oleh rasa defensif dan ofensif, saling memerangi dan saling bertahan.
Baca Juga : 9 Fakta Menarik Tradisi Suku Batak, dari Larangan Menikah Satu Marga hingga Perkawinan dengan Sepupu
Sibiangsa atau pangulubalang kemudian berkembang dalam ranah paranoia primordial (ketakutan kampungnya diserang oleh kampung lain) dan fungsinya adalah senjata pamungkas magis: Piso pangabas di jolo, saongsaong di ginjang jala lapik-lapik di toru.
Menurut Mgr Anicetus, metode pembuatannya adalah sebagai berikut:
Seorang anak, paling disukai ialah hatoban (hamba atau budak), yang dipelihara dengan menggendutkan, memberi makanan yang enak-enak sehingga ia tumbuh gemuk dan subur. Ke telinganya selalu dibisikkan, “kemana saja engkau saya suruh, engkau harus menuruti.” Dalam harapan diberi makanan, anak itu selalu mengangguk.
Pada hari H diadakan penyumpah, manumpa. Hal ini diikuti, tak lama kemudian, oleh panggurigurion (pengwadahan). Cairan metal ditumpahkan ke dalam mulut yang disumpahi, sampai anak tersebut mati. Tubuhnya dicincang dan dimasukkan ke dalam guci atau wadah yang sudah disediakan. Barang ini menjadi amulet ofensif – defensif (senjata pamungkas). Sesuai janji sumpah si anak, maka ia bersedia disuruh ke mana dan berbuat apa saja. Maka seringlah ia disuruh manumpur huta ni musu (menyerang kampung musuh). Bisa saja seluruh isi kampung menjadi gila, berkelahi atau mati kena tulah atau penyakit.

Di Samosir, menurut cerita seorang penduduk bermarga Sitanggang kepada Tagar News, cerita Sibiangsa ini sedikit berbeda dengan yang ditulis Mgr Anicetus Sinaga. Menurut Sitanggang, Sibiangsa ini berasal dari seorang bayi terpilih yang kemudian digongseng hidup-hidup sampai ia mati dan tubuhnya mengeluarkan minyak. Minyak inilah yang kemudian dimasukan dalam wadah dan kemudian dipakai sebagai senjata pamungkas oleh kampung tersebut untuk menyerang atau bertahan terhadap serangan musuh.