Danau Toba tak hanya dianugerahi alam yang menawan, selain indah dipandang dari sudut mana pun, sejarah peradaban bagaimana Batak lahir hingga ragam rutinitas adat yang dijalani sehari-hari menjadi daya tarik tersendiri. Itulah mengapa amat beruntungnya bangsa ini dianugerahi danau terbesar di Asia Tenggara. Horja Bius adalah sebuah upacara adat tradisional Suku Batak Toba khususnya yang tinggal di Desa Tomok, Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Upacara adat ini merupakan sebuah adat musyawarah antar warga untuk menyelesaikan sebuah permasalahan guna menghasilkan suatu kesepakatan atau keputusan untuk dijalankan bersama-sama.
Dahulu, di dalam upacara Horja Bius selalu disertai dengan upacara Manghalat Horbo sebuah upacara ucapan syukur kepada leluhur atas upayanya dalam membuka desa bagi warga setempat dengan mempersembahkan hewan-hewan pilihan atau lebih tepatnya kerbau pilihan. Namun masa kini telah dimodifikasi menjadi sebuah teater kolosal, untuk melestarikan budaya Batak Toba yang sudah tidak dilakukan dan mendukung perkembangan potensi pariwisata Danau Toba sebagai tujuan wisata kelas dunia. Upacara Horja Bius memiliki pengaruh dari Parmalim. Sebelum Kekristenan diterima suku Batak Toba, mereka merupakan bagian dari penghayat kepercayaan Parmalim. Kini, hanya beberapa orang saja dari jutaan warga suku Batak Toba di seluruh penjuru negeri yang masih menganutnya yang pada umumnya tinggal menetap di pulau Samosir dan sekitarnya.
Berdasarkan sejarah ada tiga elemen penting suku Batak Toba yang mengatur sistem musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, yakni Huta, Horja dan Bius. Huta secara harafiah diartikan sebagai suatu kelompok perhimpunan. Setiap Huta dipimpin oleh Raja Huta, orang yang membuka perkampungan itu, biasanya selalu berkaitan dengan marga. Dalam pagelaran pesta Horja Bius diadakan yang namanya Hahomion. Ritual Hahomion adalah upacara yang dilakukan oleh nenek moyang kita terdahulu yang ditujukan untuk pemujaan kepada roh leluhur dan kekuatan gaib. Maksud diadakannya Ritual Hahomion untuk memberikan sesajen atau persembahan kepada kekuatan gaib dan roh leluhur. Nenek moyang kita dahulu percaya bahwa roh leluhur masih memiliki peran dalam kehidupan keturunannya. Mereka juga percaya bahwa roh nenek moyang senantiasa memantau kehidupan sosial kemasyarakatan. Persembahan ini dimaksudkan sebagai bukti nyata dari warga untuk pengakuan akan adanya kekuatan gaib yang mengiringi kehidupan.
Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar roh dan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon kepada Mulajadi Na Bolon agar senantiasa memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga. Horja Bius terdiri dari beberapa ritual, mulai Ulaon Hahomion, Tortor Tunggal Panaluan, Tortor Parsiarabu, Marjoting, Pajongjong Borotan, Makharikkiri Horbo, ditutup Mangalahat Horbo. Ulaon Hahomion berisi ziarah ke tambak (makam) Dolok Ompu Raja Sidabutar dan mangalopas tu mual natio. Ini merupakan ritual penghormatan kepada roh-roh leluhur untuk memohon berkat perlindungan dan kelancaran dalam melaksanakan tahapan-tahapan upacara selanjutnya. Di Desa Tomok, Horja Bius menjadi salah satu acara tahunan, bagian dari Horas Samosir Festival. Dikemas dalam bentuk teater kolosal, modifikasi yang tidak melunturkan kesakralan. Pada masanya, Horja Bius Tomok adalah persembahan kepada leluhur Ompu Raja Sidabutar yang telah mendirikan Kampung Tomok.
Kepercayaan ini terpatri hingga saat ini bagi mereka yang memegang teguh budaya habatakon. Ziarah kubur penyajian sesajen seekor kambing yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang, juga ayam putih dan merah jantan, sagu-sagu, itak nani hopingan, itak gurgur, assimun, anggir pangurason dan aek naso ke mida mataniari. Semua persembahan dijunjung oleh perempuan Batak yang mengenakan Ulos. Gondang Sabangunan mengiringi arakan menuju makam. Aroma kemenyan yang telah dibakar menyambut, mengundang kehadiran sosok dan kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual. Sajen diletakkan di atas makam, sembari mangalopas tu mual nation atau melepaskan ayam putih ke Danau Toba. Usai ragam ritual di hari pertama, masuklah ke acara puncak, yakni mangalahat horbo. Seekor kerbau akan ditombak untuk persembahan. Ini bukan kerbau sembarangan, harus yang hidup liar lalu ditangkap dari hutan. Enam pria dewasa dan seorang perempuan yang mengenakan Ulos mengarak menuju tiang tambat. Dari belakang, Raja Bius menyaksikan. Dahulu, kerbau ditombak untuk memastikan kematiannya, tapi pada Horja Bius, tombak sang Dukun tak langsung menghujam. Tusukan dilakukan hanya sekedar simbol, kerbau disembelih dengan pisau.
Mangalahat Horbo Bius dilakukan untuk mengawali atau pembukaan sebelum orang Batak turun ke sawah. Ritual ini untuk kesuburan tanah, perkembangbiakan ternak, dan kesejahteraan manusia,” kata Hartoba Tohris Sidabutar. Mangalahat Horbo punya tiga tujuan berbeda, yaitu sebagai upacara turun ke sawah, ucapan rasa syukur dan meminta keturunan, dan upacara peringatan orangtua yang sudah meninggal dunia, serta upacara perayaan tertentu. Setelah disembelih, daging kerbau dibagi-bagi kepada tuan rumah yang menggelar pesta, serta kepada yang berhak menerima sesuai ketentuan adat. Bila sabar menunggu, para tamu pun bisa menikmati daging yang telah dimasak dan makan bersama warga kampung.